Jakarta - Direktur Kepala Sekolah,
Pengawas Sekolah, dan Tenaga Kependidikan Dirjen GTK Kemdikbudristek Dr.
Praptono mengatakan implementasi Kurikulum Merdeka (KM) banyak mengambil
pelajaran dan adaptasi dari program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI).
Salah satu yang diadopsi oleh Dirjen GTK dari INOVASI adalah pemanfaatan
fasilitator daerah (fasda). Langkah adopsi ini dilakukan karena peran fasda
sudah terbukti berhasil, efisien dan efektif dalam meningkatkan mutu pembelajaran.
"Makanya di program prioritas kami di Guru Penggerak, bapak dan ibu
mengenal terminologi pengajar praktik. Di sekolah penggerak kita sebut pelatih
ahli kemudian kita revisi menjadi fasilitator sekolah penggerak, ini adalah
contoh yang kita adopsi dari fasda-fasda yang dibentuk oleh INOVASI. Yang kita
sudah bisa lihat kinerja (fasdanya)," tuturnya saat membuka workshop
Kemitraan untuk Pembelajaran di Hotel Sutasoma, Jakarta, Rabu (15/6).
Peran penting fasda dalam
peningkatan mutu pendidikan, juga diakui Kadisdik Tana Tidung, Jafar Sidik.
Saat menjadi narasumber Temu INOVASI yang digelar oleh Badan Standar,
Kurikulum, dan Assessment Pendidikan (BSKAP) Kemdikburistek di Ballroom Hotel
Sultan, Jakarta, Rabu (7/5), Jafar mengatakan pihaknya akan
mengimplementasikan KM menggunakan sistem yang sudah berjalan efektif di Tana
Tidung. Sistem yang dimaksud adalah memanfaatkan fasilitator daerah (fasda) dan
fasilitator gugus (gugus). Fasda dan fasgus ini akan menggerakkan Kelompok
Kerja Guru (KKG) di tingkat SD dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di
tingkat SMP.
Lebih lanjut Jafar mengatakan, Tana
Tidung harus mencari strategi berbeda untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Daerahnya tidak bisa mengadopsi pola yang ada di Pulau Jawa mengingat perbedaan
geografis dan sarana infrastruktur. Salah satu caranya dengan mengembangkan
sistem yang memanfaatkan peran fasda dan fasgus.
Ia mengatakan, salah
satu tantangan pendidikan di Tana Tidung terletak pada terbatasnya narasumber
yang bisa membantu guru mengembangkan metode pembelajaran yang efektif dan
efisien. Kondisi alam dan keterbatasan infrastruktur membuat guru-guru di
daerah kesulitan untuk mendapatkan bantuan cepat ketika menghadapi masalah
pembelajaran. Mereka tidak memiliki narasumber yang bisa diminta bantuan
setiap saat. Guru-guru dari daerah pedesaan, pedalaman, dan pesisir ini harus
pergi ke ibukota kabupaten terlebih dahulu agar bisa meminta solusi dari
Disdik. Cara-cara seperti ini tidak efektif karena membutuhkan waktu yang lama
dan biaya yang besar.
Dengan adanya fasda dan
fasgus, maka persoalan guru bisa diselesaikan dengan cepat. Fasda dan fasgus
bisa menjadi narasumber di daerah masing-masing. Guru dapat bertanya langsung
kepada fasgus jika menghadapi masalah pembelajaran. Fasgus akan membantu
menyelesaikannya. Jika fasgus tidak mampu, maka fasgus bisa berkonsultasi
dengan fasda. Fasda akan berusaha membantu fasgus menemukan jawaban. Jika fasda
tidak berhasil memberikan solusi, barulah masalah pembelajaran ini dibawa
kepada Disdik untuk dicarikan jalan keluarnya.
Dengan pendekatan berjenjang seperti ini, guru
mendapatkan solusi lebih cepat. Termasuk untuk persoalan yang kompleks, bisa
dengan cepat dicarikan jalan keluarnya. Disdik bahkan bisa mencari narasumber
dari luar Tana Tidung dan Kalimantan jika terdapat masalah yang terlalu sulit
untuk diselesaikan oleh fasgus dan fasda.
Jafar mengatakan strategi pemanfaatan fasda dan fasgus ini sudah dijalankan Tana Tidung pada masa pandemi COVID-19. Lewat peran fasda dan fasgus, Tana Tidung mampu mengadaptasi kurikulum darurat, melakukan formatif assessment, dan melaksanakan pembelajaran terdiferensiasi. Hasilnya partisipasi belajar di Tana Tidung mampu mencapai 98 persen. Selain itu, kemampuan membaca siswa kelas 1 SD meningkat sebanyak 21 persen. Anak-anak ini mampu membaca lancar, sekalipun harus belajar dalam kondisi darurat (*)
Posting Komentar