teras.id: Perjuangan Guru-Guru di Tana Tidung Pedalaman Kalimantan Utara Bantu Siswa Belajar Dari Rumah di Tengah Keterbatasan

Tana Tidung, Kaltara - Suciningsih, 51 tahun, tidak punya pilihan. Ia sudah rela duduk berjam-jam, menahan panas dan disengat serangga di kawasan hutan lindung demi mendapat sinyal internet. Cuma ini satu-satunya cara Suci bisa ikut pelatihan online. Ia butuh materi pelatihan ini supaya siswanya berdaya belajar dari rumah (BDR).

Maret lalu Kemdikbud menutup semua sekolah karena wabah Covid-19 sampai ke Indonesia. Termasuk menutup sekolah tempat Suci mengajar di SDN 009 Tanah Tidung, Desa Sambungan Transmigrasi Tahap 1, Tana Lia, Kabupaten Tana Tidung  (KTT), Kalimantan Utara (Kaltara). Penutupan sekolah ini membuat Suci dan guru lain kelimpungan. Pasalnya mereka tidak mengerti betul soal BDR. Mereka hanya terpikir meminjamkan buku paket Kurikulum 2013. Harapannya anak membaca buku ini selama di rumah.

Suciningsih, Guru SDN 009 Tana Tidung bertahan berjam-jam di pinggir hutan untuk mendapatkan sinyal internet agar bisa mengikuti pelatihan daring.

"Stres juga kami. Berusahalah kami cari informasi sana-sini," kata alumnus Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Tegal, Jawa Tengah tahun 1987 ini, Sabtu (25/7). Suci sendiri pindah dari Jawa Tengah ke Kalimantan karena ikut program transmigrasi di tahun 2003.

Dinas Pendidikan (Disdik) KTT ikut turun tangan. April lalu guru-guru seperti Suci dilatih melakukan pemetaan moda belajar. Pemetaan ini membuat guru bisa memilih sarana belajar untuk siswa. Mereka bisa memakai moda daring (dalam jaringan), daring tanpa tatap muka, dan luar jaringan (luring).

Moda daring merupakan cara belajar online dengan video conference. Sedangkan moda daring tanpa tatap muka, guru hanya mengirimkan tugas kepada siswa memakai whatsapp. Moda yang paling sulit adalah moda luring. Guru harus mengantarkan bahan ajar langsung ke rumah siswa. Tidak jarang guru harus memakai perahu membelah sungai, dan berjalan kaki menembus hutan, baru bisa sampai ke perkampungan siswa.

Selain pelatihan pemetaan moda belajar, Suci juga dilatih menggunakan lembar aktivitas siswa (LAS) yang bermakna dan kontekstual. LAS ini didesain agar anak senang belajar di rumah. Materi-materi LAS yang berkualitas sudah banyak tersedia di berbagai website pendidikan. Namun tantangannya semua materi pelatihan dan LAS itu harus diakses secara online.

Di sisi lain tidak semua tempat di KTT punya akses listrik dan sinyal internet. Desa tempat Suci mengajar contohnya. “Tapi kami tidak menyerah dengan situasi ini. Kami berusaha mencari sinyal internet kemana-mana," kata Suci.

Guru-guru SDN 002 Tana Tidung mengarungi Sungai Sesayap di Kabupaten Tana Tidung, Kalimantan Utara untuk mengantarkan bahan belajar kepada siswa di Desa Mengkabid.

Berbekal pelatihan online, Suci semakin percaya diri menjalankan BDR. Ia juga diberi tugas melatih guru-guru lain disekolahnya untuk menggunakan LAS. Anak-anak transmigran di desa Suci, tidak lagi diberi tugas  membosankan seperti membaca dan meringkas buku teks. Mereka mulai diperkenalkan dengan cara pencegahan penularan virus Corona, materi kecakapan hidup dan pendidikan karakter.

Evaluasi BDR

Tidak mudah menjalankan program BDR di daerah yang aliran listrik dan internetnya tidak merata, seperti KTT.

Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) KTT, Jafar Sidik  mengatakan mereka harus bekerja lebih keras supaya Program BDR benar-benar jalan. Disdik KTT harus melayani ribuan pelajar yang tersebar di wilayah seluas 4.828 kilometer persegi. Walau hanya satu kabupaten, tapi KTT lebih luas dari Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Siswa mereka ada disepanjang hutan, rawa, sungai dan pesisir. Keadaan ini semakin berat karena belum semua perkampungan di KTT bisa diakses melalui jalan darat. Kalau BDR tidak jalan, maka banyak anak akan mengalami penurunan kemampuan belajar (learning loss). "Tapi kami punya strategi menghadapi tantangan ini," kata Jafar.

Jafar mengatakan dari hasil pemetaan BDR periode pertama, Disdik KTT menemukan 11 persen anak bisa belajar menggunakan moda daring, 52 persen memakai moda daring tanpa tatap muka, dan 37 persen harus belajar dengan moda luring. Pemetaan ini melibatkan lebih dari 4.500 siswa PAUD, SD dan SMP. Hasil evaluasi yang sama menunjukkan 88.13 persen siswa tetap belajar selama BDR periode pertama. “Tapi kami juga menemukan masih ada 11.87 persen siswa yang tidak belajar. Kebanyakan anak-anak yang tidak belajar ini, adalah anak-anak yang menggunakan moda daring tanpa tatap muka dan luring," ujar Jafar.

Strategi Disdik

Berbekal hasil evaluasi  periode pertama, Disdik KTT merancang strategi baru untuk tahun ajaran 2020/2021. Strategi itu meliputi 5 komponen: pemetaan ulang moda belajar, penggunaan bahan ajar yang kontekstual dan bermakna, implementasi program budaya baca, pendampingan belajar, dan monitoring. “Kami mendesain strategi ini dengan bantuan dari Program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (INOVASI) dan Forum Masyarakat Literasi Indonesia (FORMALINDO),” kata Jafar.

Jafar mengatakan pemetaan ulang moda belajar siswa, merupakan kunci penting di awal tahun ajaran baru. Melalui pemetaan ulang ini, kepala sekolah dan guru bisa melihat kembali moda belajar yang benar-benar efektif dipakai siswa. Pemetaan ulang dilakukan dengan melihat partisipasi belajar siswa di periode lalu. Jika ditemukan ada anak yang tidak aktif, maka kepala sekolah, guru dan orangtua bisa bekerja sama memilih moda belajar terbaik untuk siswa.

Sedangkan untuk materi belajar, Disdik KTT melakukan penyesuaian kurikulum. Kepala Bidang Pendidikan Dasar (Kabid Dikdas) Disdik KTT, Irdiansyah (43 tahun) mengatakan penyesuaian dilakukan karena berkurangnya jam belajar siswa. Seiring berkurangnya jam belajar, maka tidak semua kompetensi dasar (KD) di dalam kurikulum bisa tuntas diajarkan. Kemdikbud mengizinkan daerah melakukan penyesuaian kurikulum sesuai kondisi dan kebutuhan daerah.

"Kami membentuk tim khusus untuk memilih KD pra-syarat dan esensial yang digunakan guru selama tahun ajaran baru nanti. Tim ini terdiri dari guru-guru terbaik dari setiap mata pelajaran," kata dia.

Tim khusus ini juga diberi tugas melatih guru menerjemahkan KD menjadi bahan ajar. Selama BDR ini, Disdik KTT tetap menggunakan materi ajar yang bermakna dan kontekstual. Caranya dengan mengintegrasikan KD dengan topik literasi, numerasi, kecakapan hidup, penanganan COVID, Perilaku hidup bersih dan sehat, spiritual keagamaan, dan pendidikan karakter. "Pengintegrasian topik-topik ini bertujuan memberikan pengalaman belajar bermakna, sehingga perilaku siswa dapat berubah menghadapi COVID-19 dan mampu beradaptasi dengan kebiasaan baru,"  ujarnya.

Hasil belajar anak-anak KTT nantinya lebih bervariasi dalam bentuk poster, video, slogan, graphic organizer dan bentuk lainnya. Mereka tidak lagi monoton menjawab soal-soal dan menghitung angka-angka. Materi belajar bergantian diambil siswa ke sekolah dan diantarkan guru ke rumah siswa. Semua biaya penggandaan dan distribusi bahan ajar ditanggung oleh Biaya Operasional Sekolah (BOS) dan Biaya Operasional Pendidikan (BOP) dari APBD KTT.

Kepala Seksi Guru dan Tenaga Kependidikan (Kasi GTK) Disdik KTT, Diana (37 tahun) menyebut pendampingan belajar sebagai salah satu strategi penentu keberhasilan program BDR. Terlebih di daerah yang tidak memiliki akses listrik dan internet.  Disdik telah meminta guru mengunjungi rumah-rumah siswa. Melalui pendampingan ini, guru bisa menjelaskan penggunaan materi belajar sekaligus memotivasi semangat belajar anak.

Kepala sekolah diwajibkan menyediakan masker, pelindung wajah, hand sanitizer dan cairan disinfektan untuk dipakai guru dan siswa.  "Dinas pendidikan dan dinas kesehatan bekerja sama membuat prosedur kunjungan rumah sesuai protokol kesehatan yang ketat," kata Diana.

Selain program pembelajaran, Disdik KTT juga mendesain program budaya baca. Program ini bertujuan membuat anak senang membaca selama di rumah. Sekolah sudah merancang mekanisme peminjaman buku non-teks pembelajaran kepada siswa. Buku yang dipinjamkan adalah buku yang bisa memicu imajinasi anak seperti buku cerita, cerita pendek, novel, buku sastra, komik dan buku sains. Peminjaman buku diberikan kepada siswa, setiap kali mereka mengumpulkan tugas kepada guru.  Sedangkan siswa SD yang belum bisa membaca, buku cerita dibacakan orangtua atau keluarga di rumah. Sekolah dan paguyuban kelas bertugas melatih orangtua agar bisa membacakan buku cerita dengan teknik menarik.

Disdik KTT juga melaksanakan pemetaan kemampuan membaca siswa kelas awal. Pemetaan menggunakan alat penilaian formatif. Dengan pemetaan ini, guru bisa melihat kemampuan membaca anak. Mulai menguasai huruf, suku kata dan kata. Dari sana guru bisa mendesain bahan ajar yang sesuai dengan kemampuan anak.

Disdik KTT mengawasi semua program BDR secara berkala. Sekolah wajib melaporkan tingkat keaktifan belajar siswa setiap bulan. Sekolah juga harus menuliskan praktik baik pembelajaran dan manajemen sekolah untuk dipublikasikan melalui website gurutanatidung.id. Setiap bulan Disdik KTT menggelar webinar sebagai sarana berbagi pengalaman menjalankan BDR. Webinar ini diisi kepala sekolah, guru dan orangtua secara bergantian. Kemudian disdik juga melakukan kunjungan rutin ke rumah siswa secara acak. Kunjungan ini untuk melihat secara langsung perkembangan belajar anak di rumah.

Semua pembiayaan program BDR di KTT menggunakan BOS, BOP, dan anggaran Disdik KTT sendiri. Re-alokasi anggaran dilakukan agar anak-anak KTT tidak mengalami penurunan kemampuan belajar (learning loss). Semakin lama tidak belajar, semakin turun pula kemampuan anak memahami materi ajar. Penurunan kemampuan belajar ini, bisa berdampak kepada meningkatnya angka putus sekolah di masa depan. Melalui strategi baru ini, pemda  ingin memastikan semua anak KTT bisa belajar dan berkembang walau mereka berada di rumah. 

Erix Hutasoit / SDA

Posting Komentar

[facebook]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget